Kita berjalan. menuju sebuah stasiun. di siang ini, kelabu Kau antarkan aku. dalam gamang. mengetuk-ngetuk kaca peron Bukan ragu. pada segala, tentang lusi kekinianku Tapi kau, meragukan keabsahan ucapku. saat itu
“aku tak akan banyak bicara sayang…kan ku penuhi segalaku untukmu”, ucapku kala dungu
Lalu kau sengaja menyodor-nyodorkan. karcis rapuhmu Seolah-olah ucapku hanya bualan. jadwal ijab yang masturbasi
“maaf saatnya aku pergi meninggalkanmu..” tegas mengalir memecah keakuanmu
Adalah kau, tanpa rasa bersalah. menghiba harap. agar keretaku, langsir kepinggir
“sayang maukah kau merajut pelangi kembali..?, kali ini akan ku perbaiki bantalan relku kembali” tuturmu hendak menebas asaku
Tapi sungguh. ku lihat sebayangmu. merayu percepatan peluit masinis. juga bersorak riang. saat aku hendak berpamit.
Dan lihatlah ragaku. seperti tak ada kilogramkilogram baja, di punggung dan bahu
“maaf…masinis tlah meniupkan waktuku, semoga jalan ini akan menautkan kita jika memang masih utuh” itu kalimat terakhirku
badanku berbalik menjauh. tinggalkanmu bersama robekan karcis, berdebu di parkiran itu
kini aku melanglang. bak kapas. mencari kursi di gerbong depan. untuk rebahkan sisa lelahku. di senja ini
kereta hantu pun, memulai petualangan. melaju bersama kilometerkilometer baru
(..dan diam-diam ada senyum purnama. di sebuah stasiun. setia menanti di malam yang biru, tanpa kutau. tapi itu bukan kau)