Jumat, 30 April 2010

Dengarkan Suara Sampah


hai kawan..
: dengarkan ceritaku

tentang tanah yang subur, padi menguning siap panen
tentang rimba perawan dengan aneka flora dan fauna
tentang segala biota dan kedalaman ragam hening samudra
tentang kisah darah pahlawan yang tertumpah atau tercecer
tentang harta pusaka yang diwariskan nenek moyang kami
tentang kekayaan budaya dan norma hidup yang tertata
tentang yang ber-ibu pada negri berpanji merah putih
tentang kepintaran, kecerdasan dan kemakmuran pada lalu



kini masa demi masa berganti bangku dan telunjuk

hanya menyisakan hutang segunung
persawahan tergerus globalisasi ciptakan elegi dan polusi
peani dan nelayan memperkosa nurani atas kerontangnya lambung
modernisasi sulap desa jadi kota mendiri tuk semai menara langit
warisan ratna mutumanikam kian terkikis atau terjual proyek harakiri bukan harga diri
jejak pahlawan tinggal tumpukan abu bahkan remaja lupa akan syair 'rayuan pulau kelapa'
kemarau panjang akibat penjarah liar yang tak berhati nurani
lagi-lagi bencana menyalahkan pancaroba yang kian tak tentu
bendunganpun jebol, bumipun menjerit saat parunya teriris
lalu semua cuci tangan dan lari terbirit-birit sembunyi diketiak sunyi

: lihatlah..


apa bedanya penjahat dengan pejabat..?
kalau akhirnya sama-sama mencuri saat mulut berbisa mulai berdasi
apa perlunya siskamling..?
jika otak malingnya bayanganmu sendiri


banyak layar tancap terpampang bukan malu bertelanjang

justru sikut sana sini rekayasa skrip telenovela sebagai sajian kudapan
seolah sekejap mengulur suapan sebelah kanan, kirinya merampas segala
atau kami hanya gulma tuk dibuang di kali tanpa mau perduli
hanya tampang sampah yang tak perlu didengar tanpa maksud menyumpah

: tapi ingat...!!


walau kami sampah tapi sanggup menghabisimu.






Ira Ginda...

debu tepian kota

Gagakpun Bersorak Riang

pada malam tak berjendela
suara camar menghentak sukma
ruh mengerang tanpa kuasa
saat tubuh putih berganti rupa

: cemas
hitam
pekat
lengket
berbau



aakh..
limbah besi apung busuk
sisa minyak belum masak tertumbah
meninta menjamuri bening

: panik
ikanpun kobat-kabit berlarian takut tersentuh
burung laut bersegera terbang gelisah jika tenggelam

tapi gagak bersorak riang
menanti mangsa kala hening
tanpa teriakan kematian

: bisu lenyap


kelam ngilu



Ira Ginda
tepi rimba

Pelacur diantara Sepasang Kakimu

pagi ini saat senyum matahari merekah. kita bukan temui basabasi juga hangat sapa berlalulalang di pintu kamar, seperti tak hendak menyatu


debar rindu yang melindu di dada tlah lengang meniada, lalu jeda pergi menyapa lainnya





adalah kau yang selalu mengatur ubah birama ketidakan menjadi hymne pemakluman pada kewajiban atas hawa istri adam



disini aku tlah lelah merapih remahan crystal hati yang lantak, lalu serpihannya meneteskan getir anyir di dalam lingerie kepatuhan



mungkin aku hanya seperti pelacur diantara sepasang kakimu






ruang kelu

IG

deja vu padamu

mungkin amnesia melanda
cinta datang pergi tanpa permisi
deja vu hidup mati
pijar padam tak lelah henti


kadang lupa
bagaimana ?
kapan ?
kenapa ?
apa ?


lalu meraba kala buta rimbunan belukar
menatap mata aksara pda biru bening samudra
rasapun tercecap sahaya

asin
manis
pahit
getir
hambar

tapi bara asmara kian jalang menantang
siap melantakan jerami hingga mengabu
karna hasrat belenggu norma adat


bimbang berkata:
"cinta, kau slalu berwarna dalam bait puisi
terpahat abadi di dinding hati"

Mimpi Terburukmu

matahari, maaf..aku menjauhimu, menjinjing sebelah jantung yang tak lagi utuh, ceceran darahnya hitam melegam, menggenggam belahan jiwa titisan wajahmu, melanglang terbang bebas bersayap bidari agar bayangku tak pernah lagi kau temukan.



...dan amatilah, kala malam mulai kelam yang gigilnya sunyi justru aku datang, nyata senyata mimpi terburukmu untuk membangkitkan peluh ngilu dari lelap pulas tidur panjangmu....