Sabtu, 24 Juli 2010

Kuyu


hari kian terasa siang tuk ditata sementara, itu kita hingga sisakan, meja makan yang masih kosong, tanpa berbahasa telinga kita hanya hapal detakan jam dinding, lidah pun kelu karna kini kata 'karma' tlah berlaku, padaku

saat panah asing mulai menghujam rahimku,
rasa tak terukur tertinggal abu






IG

Rindu yang Lupa


adalah aku yang menyesali rindu
saat kau terlalu acuh menghitung ragu


"Denting gitarmu tak semerdu dulu...sayang"
itu kata beku



akupun mulai menjahit detak diatas telapak tanganmu

dari tubuhmu yang tak lagi merah berdaging

hingga lekatpun darah kita makin mengering

terkadang sesekali pukau kita meruncing

atau bahkan menjadi puingpuing


"Senarku kepayahan sayang..kan kuganti nanti"
katamu coba mengalihkan alibi



lalu kau mengisi selongsongan peluru rindu dengan sajak basi
kau tepat tembak ke arahku, nyalakpun bergunjing miring mendesing

...dan ku lihat...

aah...ternyata bukan aku dan bukan kita

tapi dia
jantungnya tlah bersimbah darah
dustapun mulai mengeja
baraku mulai mereda

karena kau dan aku sama
lupa kapan rindu terakhir meraba


--------------------------
-----------------------


aku cecapi sisa peluh dipucukpucuk cemara

kala jejakmu kian gigil berjingkit tertiup bayu

kau menjauh, aroma tubuhpun lenyap tak mengerling

adalah aku meratap
terpasung letih sima reranting
menata keping di sudut hening

dan kau membendung
gulung sesak rindu membatu
pada sang bening tanpa melengking





ruang bisu
IG

Tarian Ilalang (Anak Pertamaku)


TARIAN ILALANG : DINAMIS DAN KOKOH
Penerbit Kutu Buku Sampurna (Jakarta 2010 – 106 halaman)
Oleh : Susy Ayu

Ulasan yang disampaikan dalam acara Launching Buku Antologi Puisi “Tarian Ilalang”

di PDS HB Jassin, Jakarta
Sabtu, 15 Mei 2010.

Tarian Ilalang, sebuah judul buku yang menarik. Kemudian terbayang di benak tentang sekumpulan ilalang , tampak rapuh namun tegak dan oleh angin mereka bergerak sangat dinamis, teratur dan mampu bertahan dalam kekeringan. Ilalang serupa kecemasan sekaligus harapan abadi manusia.

Tarian Ilalang, adalah sebuah buku antologi puisi.
Antologi secara harfiah diturunkan dari kata bahasa Yunani yang berarti "karangan bunga" atau "kumpulan bunga", adalah sebuah kumpulan dari karya-karya sastra. Sementara kata puisi, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat.

Kita bisa menyebut beberapa nama Samuel Taylor Coleridge , Wordsworth , atau Dunton yang memiliki pendapatnya masing masing tentang puisi. Demikian juga kita, setelah menciptakan puisi dengan menjalani proses prosesnya, maka menurut saya puisi adalah merupakan sublimasi gerak perasaan dan pikiran yang terekam dalam kata kata. Sublimasi yang saya maksud tentu saja semacam perenungan/pengendapan yang melahirkan bentuk baru setelah penghayatan. Dengan kata lain puisi bisa berupa “potret kata kata” atas diri kita atau di luar itu yang berhasil ditangkap dengan mata dan rasa kemudian terolah di dalam bathin, hingga melahirkan pikiran atau gagasan gagasan tentang hal itu di dalam sebuah frame.


Tarian Ilalang, antoloi puisi oleh Adrian Kelana, Arther Panther Olii, Atan Wira Bangsa, Bagus Prana, Faris Al Farisi, Geg Neka, Ira Ginda, Joezefhine Zejoe, Lina Kelana, dan Windy Aurora.


1. Adrian Kelana, dalam pengelanaannya ia menguatkan jejaknya atas asa ( Secawan Anggur Rajahan, hal. 4) dan cinta kepada sesama ( Kemana Asap Tungku Itu, hal. 8 ) juga harapannya (Musafir Kelana, hal 10).


2. Arther Panther Olii, berhasil menggali kepedihannya hingga terasa begitu kental namun mengiris dengan sangat halus pada liris penutupnya : O, tidakkah kalian lihat telah lahir sajak paling pedih dari bening mataku? ( Dan Lahirlah Sajak Paling Pedih Dari Bening Mataku, hal. 18).


3. Safwan Nizar - Athan Wira Bangsa, menghidupkan sajak sajaknya dari perenungan yang digali antara dunia dalam bawah sadar dan dunia dalam kesadaran serta mengantar kita untuk merunduk lebih dalam atas keagungan Illahi ( Aku Mencari-Mu, hal. 26) dan (tuhan dan Rabi, hal. 27).


4. Bagus Prana, menulis rasa kehilangan dan pencarian akan cinta kasih yang lengkap tak terbelah, menyentuh rasa kemanusiaan kita (Syair Sebuah Balada, Hal. 37) , (Terlepas Sebuah Tanya, hal. 38) dan (Janji Dermaga Biru, hal. 40).


5. Faris Al Farisi, dialog ringan kerap kita temukan pada sajak sajaknya, dan itu membentuk keunikan dalam imaji yang kental (Kremasi, hal. 45) dan (Tentang Batu 4, hal. 50) .


6. Geg Neka, sajak sajaknya kerap irit diksi namun lincah dan memiliki makna pada keseluruhan bangunan puisinya. Sajaknya sangat dinamis, enerjik ( Pikiran, hal. 57), (Gelembung, hal. 58) dan tegas dalam lembutnya ( Lembayung, hal. 61).


7. Ira Ginda, nuansa gothic begitu kental membungkus pada kebanyakan puisinya, namun ia mampu membuat imaji imaji dalam gelap itu menjadi nyata di benak kita. Nuansa Romantika Gothic; yang mengungkapkan dunia cinta secara sensual dimana bisa menghasilkan jalinan yang kuat atau kadang tragis menyembul dari imaji imajinya (Kisah Rembulan Buta, hal. 65) dan (Pelacur Di Antara Kedua Kakimu, hal. 71). Dalam nuansa kelam itu Ira juga mampu memberi imaji yang lembut di dalam kehangatan yang miris (Secawan Teh Hangat, hal. 70) , (Jawabmu Sunyi, hal. 68) dan (Pangilan Moksa, hal. 67)


8. Joezefhine Maria - Joezefhine Zejoe, cinta adalah nafas terkuat yang hadir dalam sajak-sajaknya. Menegaskan cinta meski terabaikan, bagi kekasih, bagi sesama dan bagi orang orang yang kehilangan (Berkata Waktu Yang Akan Datang, hal.76), (Aksara Tuk Sahabat, hal.78) dan (Bocah Bocah Kolong, hal. 79).


9. Lina Kelana, dalam beberapa puisinya ia berani menggunakan diksi yang cukup tabu , hingga kita merasakan amarah mengalir dari beberapa puisinya (Arumi, hal.85), (Di Kesempuranaan Ini Tuhan Tak Lagi Bermaterai, hal. 90) . Namun juga Lina mampu mencipta imaji yang indah lewat diksi diksi santun dan lembut menyentuh (Dawai Getar Hati, hal. 88) dan (Engkau dan Selembar Kisah, hal. 91).


10. Eka Yuli Windya Astuti- Windy Aurora,

Windy mengolah tema maut dengan pilihan metafora unik, yaitu perjalanan kereta api (Pulang Naik Kereta, hal. 104). Maut merupakan tema yang menghantui puisi-puisi Windy, sebagai ujung dari perjalanan waktu yang tidak tercegah, sebagaimana yang tersirat dalam puisi Kertas (hal. 97) dan Lapuk (hal. 105).

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan bahwa semua penyair di atas mengangkat tema tema yang sama tentang cinta, sepi, kehilangan juga harapan tetapi hasilnya akan tetap berbeda sebab masing masing memiliki personalitas yang ditentukan dari daya kreatifitas mereka dimana puisi merupakan manifestasi langsung dari metabolisme mental . *






Susy Ayu

Sebuah Jejak


Jejak dupa itu mengarah kepadamu. perempuan yang menggenggam lintingan bubuk kecubung di tangan kanan. menyajikan untuk tuantuan kesepian. hanya singgah dalam kesemantaraan. menanamkan tunastunas dahaga di dada kumbang kelana. hingga habis mereka hisap sajian tanpa tersisa. Lalu layar lebar mulai terbentang di anganangan mereka. tentang neraka yang merupa syurga. lalu setiai malam serupa siang.

helai keperakan disemir keemasan. gurat parutan paska kehamilan ditambal dengan balutan. tak pernah hirau pada kerutan. hanya di bahu kanan bersemai keinginan dan harapan untuk titis pujaan. cukup hanya ia yang merasakan kepahitan. badan pun memar penuh benturan, direlakan. untuk kebahagiaan seulas senyum seorang gadis malang. tiap akhir pekan di sebuah panti asuhan.





IG Kembara

6 Jam Kita


tak tuk tak tuk

ada langkah sepatu berlalulalang

di ruang tunggu, mencaricari yang dituju
tamu, berdiri takluk kaku di muka pintu
itu aku...



tik tak tik tak


ada detak jam kian jelas di rongga dada

dengan ritme yang memacu degup binal
lalu mata bersitatap membaca lekuk sintal
juga siap hujam rusuk tepat di keinginan
itu kau...


lalu gerimis rinainya pecah kandas

saat rasa meranggas mulai terkuras

ingat kan itu di detik-detik yang lalu

senja, kisah roman di beranda ungu

:tak

kita satu
pada ku
adamu



(tanpa sadar paru kirimu hilang kala kau, ku tinggalkan)







IG

last in jogja

Catatanku Tentangmu, Kekasih (Kado tuk Susy Ayu)


: Susy Ayu

Kekasih, sepucuk pesan. tersemat di ruang tunggu.



"aku rindu melihat wajah perempuan, diadukan kopi pekatku"


aku mengingatmu. dulu, di sebuah hunian maya. kita bertemu. kau sajikan menu, secangkir kopi luwak. lalu kau aduk penat. walau hanya sesaat. gelisah hitamnya terlumat. dengan bayang kita saling berimajinasi. tentang uma, hawa atau si cantik cleopatra.


kini sesekali, selami hitam bubuknya. pun getir kadang tercecap kejora. lalui hari dengan merintih dera. hingga terduduk di singgasana, hampa. tapi jalan masih membuka jendela. saat rembulan buta. kau bawa tangga bambu, milik tetangga. satu demi satu kau naiki trap-trapnya. dengan hati agar seimbang, raga. lalu kau lalui serpihan kaca. darah itu relamu. walau waktu tak pernah memihak. tapi tuturmu slalu berpijak. pada kedalaman pekat itu. sunyi katamu. diendapkan. walau rasa tak menentu. kau telan diam-diam. lalu kau tulis dalam lontar purba tentangnya.


memang hidup tak hanya mengenal cinta. tapi luka, rindu juga asa. banyak warna seperti balon-balon pengembara. kita tiupkan resah juga gundah. lalu ikat dengan keyakinan. dan lepaskan di udara. seperti katamu,



"tulisan adalah jagad kecil tempat kehidupan dibagi, dan Susy Ayu menulis untuk itu."




kau mawar merah. tubuhmu magma gelora.






IG Kembara
sahabatmu

Cemas yang Gemas (Kau Tentangku)


Ada getir luka menganga, tergurat di kening pagi.

Ra, tlah ucap kematian. tentang nasibnya sendiri. garisgaris hidup, di dahi. Ragu tlah letih tak mengerti. Tentang duka kekasihnya, Inka.



“rerimbun pohon percaya, daunnya gugur satusatu” saat sloki kedua berisi dusta habis, tertelan

Ra, membendung mendung di telaga tanpa sesal didustai. Bekas luka belum usai. Saat kekasih menuliskan pledoi. Tinta sewarna abu, kesangsian. Dengan dada terhujam belati, ketiadaan.



Ribuan maaf, julur alibi. saat liurliur saling berjejal , dihantar paruh burung raja. Lalu hening malam, mulai memahat kidung langit.




“tolong nyalakan kembali, lentera yang kugantungkan, di sisi keranda. agar ruang terasa damai” damba hati tergagap harap.

Inka, menjumputi jejak, sisa tetesan tinta. Untuk mencatat keyakinan. Dengan mata yang nyaris buta. tentang sebuah kemungkinan. Menetaskan kejutankejutan. Memijarkan bara, di hitam mata kekasihnya.



Dengarkan pekik burung raja, jeritannya kian gagah. Kabarkan pintu maaf, tlah terbuka. Tanpa deritan, di ujung senja. Lalu rasa bersepakat, meminang jabat. Tangan gurita mendekap, hangat.




--------------------------




Kini kabut mengurai. Tanpa kata cerai. Hingga semesta biarkan burungburung murai . dendangkan kidung biru. Lagu yang tak pernah usai. Dentingkan dawaidawai, kau tentangku.



Dalam kau, adaku.




IG Kembara

Sebuah Petilasan


kemarin, siang siap menggeser arah matahari saat kita singgah di sebuah petilasan. entah milik siapa. lama menatap nama tertera. mungkin aku buta tak bisa mengeja sebuah sosok terduga. bukan dengan kecewa. hanya heran dengan maksud yang teraba. asing padahal aku mengenalnya.

kita duduk bersila. bersedeku di antara nisan. aku menatap mulutmu yang tak henti berkomat-kamit membacakan sesuatu. bunyinya tetap sunyi di telinga. bukan lafaz atau doa yang biasa diajarkan ibu. tapi serupa mantra. saat sesajian hitam mulai dibuka dalam lipatan mori di saku kiri celana. ada cahaya ungu nyaru abu-abu digenggaman. kerlipan bak bintang yang menyilaukan pandangan. akupun diam.


sejenak tubuhmu terpaku dalam lingkaran itu, tanpaku. tapi wajahmu pasi. lalu bola matamu memutih. tiba-tiba ada asap kelabu menyembul dari lekukan tubuhmu. ada aroma lain yang amat kukenal wanginya. bukan aroma bunga atau pepohonan. lebih mirip aroma kematian. itu kuyakini saat burung nazar berbisik pada gelisahku. lalu kulihat sebarisan burung hantu dan gagak saling merapat. menunggu di tepi lingkaran.tanpa kedipan menanti sebuah tanda hentian pusaran pekat.


setelah tak kudapati bayangmu di lingkaran itu. tiba-tiba tubuhku melepaskan sesuatu. lalu kulihat ragaku terkulai di samping sebuah nisan yang bertabur penuh kelopak mawar merah. tertera namaku bertinda darah sisa nifas yang basah. tapi cahaya putih itu mengajakku terbang tanpa hentian.tanpamu yang tak pernah menggamit tanganku.






IG Kembara

Jumat, 16 Juli 2010

Kenang Itu di Keningku

kenang itu di keningku
kemarin senja

langkah kita masih bercanda

menuju persilangan
sebuah perpisahan

kemarin

masih terasa kecupan
di dahi dan pipi, merona
sebuah hentian yang kerap

kini

bahasa di tubuhmu lenyap
terguyur hujan sepagian
hanya tersisa genangan

sayang, tengok lagi kelak

setelah ia bernama
masa lalu


di langit petang jakarta wajahku mengambang






IG

Wajah Lelaki

ada kisah rembulan buta meninabobokan kekinian
lalu tanpa ragu melompati garis demarkasi di depan
lena oleh rayuan dan buai lolongan makhluk malam


hanya tuk cecapi sebuah kisah roman picisan

bukan seperti kisah cinta rama dan shinta
cukup sesaat instan dan terlupakan


"sayang, maaf aku miliki banyak kunci keinginan" itu nalarmu


ada rakrak berkunci yang tersimpan dalam bilikmu

saat kau buka biru tuk kunci si merah jambu
juga saat kau butuh jingga maka marun kau ikat
atau hijau kau pinang, kemuningpun kau sekap


"buatku tak penting, cukup ada aku, kau dan kita saja. bawalah ribuan tekateki dan jangan kau bagi" ujar keacuhan



lalu kemballi kita pada sandaran bahu masingmasing

seolaholah tetap utuh terengkuh
dengan melipat lembaran dusta



hai lihat!
ada wajah lelaki tak berpenghulu di antara kedua bibirmu







IG Kembara

Titismu Puisiku

Kau bilang, senja tlah retak, terkoyak.
Lalu sekarat.

Kubilang, nikmat. Dengan sayatan belati katakata.

Kau lihay, memainkan puisi, meramu racun di antara lekukan hurufhurufnya.
Mata aksaramu menghujam, sukma.
Aku terperdaya, terseret pusaran ilalang. Hingga hilang, kesadaran.
Saling candu tanpa rupa. Lalu degupdegup liar mulai bersenyawa. Siap menghakimi jiwajiwa kita.


“Sayang, jejakmu semalam menyisakan tangis tertahan. cukup sunyi semenit tertanggal, di antara riuh tepuk tangan, yang tak lelah mengungkap kebahagiaan. klimaks kita mencapai langitlangit malam. hingga cipta butirbutir perasan, yang gugur satu satu di halaman. lalu degup malam berpijar pada kesunyian. meruang pada kepekatan hitam biji matamu. lihatlah masih ada sisa anomali cintamu melompatlompat di retina, hatiku”



Kini kita saling mengejar haru, gelisah.
Lalu slokisloki di tangan, kian resah.
Tak sabar tuangkan kembali, agar kita mabuk.
Terlupa, kenyataan tentang liurliur mimpi semalam.
Walau kita tau, tak punya hak mengaminkan sgala perumpamaan.


Kekasih,
kau beri aku ruh, tetesan tinta sunyi.
Dengan pena rusuk, sisi kiri.
Ada titismu di tiap puisi, dari rahim kuncup melati.



------------------------


@kau ingin kenangan
maka kuberi angan, kupahat pada kening malam


@ada wajah rapuh terbayang di pekat kopi hitam siang ini,
kecewa serupa getir tlah kutelan manis.
walau lambungku meringis...
ada gegap di pelupuk mata kelam
jejakmu tak tereja semalam

kauku rindu...




IG Kembara

Si Mbah Jakarta

banyak deru tertata
di atas roda kemajuan
di bawah kaum pinggiran
di tengah dera himpitan
dengan kukukuku macan
mengoyak pemerataan
menindih kemanusiaan

solekanmu tebal dengan
topengtopeng gemerlapan

gincumu memerah serupa
darah segar penindasan
oknumoknum penertiban

ada ongkos mahal yang terbiarkan
dengan tumpukan dakidaki moral
hingga si tole dan genduk
hanya tunduk dan manggutmangut
di pojokan etalaseetalase menunggu
tuan nyonya membayar belas kasihan

duuh mbah
susurmu habis ya..
toko mereka tutup di pasar
yang kemaren dibakar

duuh mbah
kembang setamanmu tiada
pedagang asongan tergusur
malmal dan temboktembok tiran

duuh mbah
lapangan tempat bermain bola
jadi bagus tak kena hujan
tapi lupa gimana riuhnya
main jungkatjungkit di taman

duuh mbah
miris kalo musim hujan dan angin topan
rumah tepi kali habis jadi sungai dangkal
juga abrasi pantai mulai tampar kewaspadaan

tak apa mbah
kami biasa dengan keputusan
berbayar pekerjaan rumah tuantuan
yang tak pernah tamat dari buku agenda
hingga dunia melupakan kapan kami ada



selamat ulang tahun mbah..
ngupi dulu kata mbah surip



IG Kembara

Wajah Bapak Ibu

Wajah bapak seperti mengutuk dan mencaci pilihan jempol kita. Sesal itu memberi luka dengan guratan bara.

Luka bukan bekas cakar Garuda, atau guratan keris pangeran Diponegoro yang tersimpan beku di museum jadi jejak benda purbakala.

Tapi luka oleh ulah anakanak yang terlahir dari rezim yang dipercaya.

Baru atau lama apa bedanya?

Tak ada dampak setelah orasi sanasini mengobral janji.

Hanya derita mayoritas menamparnampar wajah ibu pertiwi.

Dengan kasuskasus jelas tak kusut yang tak tuntas tuk diusut.

Sementara perutperut bayi tak lagi bisa terurus. Dibiarkan busung lapar. Mengemis di perempatan di bawah jembatan layang. Hingga preman dan calo saling rebutan lahan.

Gugatmenggugat hanya biasa didengar seperti membaca running teks berita di televisi.

Datang dan pergi seperti lalulalang orang di dalam angkutan kota menunggu tarif disesuaikan.

Lalu temanteman kecilku, tak bisa mudah bersekolah. Melupakan bahagianya dongeng sebelum tidur tentang Cinderella, Timun Mas atau Gatotkaca.

Bangkubangku mereka hanya batu di pinggir kali. Guru mereka menekuni dengan hati. Walau gaji hanya cukup beli teri.



Disini aku anak kecil ini, hanya bisa diam tak bisa menerka esok jempol ini berkata apa?





IG Kembara

Pelacur di antara Sepasang Kakimu

pagi ini saat senyum matahari merekah. kita bukan temui basabasi juga hangat sapa berlalulalang di pintu kamar, seperti tak hendak menyatu


debar rindu yang melindu di dada tlah lengang meniada, lalu jeda pergi menyapa lainnya






adalah kau yang selalu mengatur ubah birama ketidakan menjadi hymne pemakluman pada kewajiban atas hawa istri adam



disini aku tlah lelah merapih remahan crystal hati yang lantak, lalu serpihannya meneteskan getir anyir di dalam lingerie kepatuhan



mungkin aku hanya seperti pelacur diantara sepasang kakimu






ruang kelu
IG