Minggu, 08 Agustus 2010
Dengarkan Suara Sampah
hai kawan..
: dengarkan ceritaku
tentang tanah yang subur, padi menguning siap panen
tentang rimba perawan dengan aneka flora dan fauna
tentang segala biota dan kedalaman ragam hening samudra
tentang kisah darah pahlawan yang tertumpah atau tercecer
tentang harta pusaka yang diwariskan nenek moyang kami
tentang kekayaan budaya dan norma hidup yang tertata
tentang yang ber-ibu pada negri berpanji merah putih
tentang kepintaran, kecerdasan dan kemakmuran pada lalu
kini masa demi masa berganti bangku dan telunjuk
hanya menyisakan hutang segunung
persawahan tergerus globalisasi ciptakan elegi dan polusi
petani dan nelayan memperkosa nurani atas kerontangnya lambung
modernisasi sulap desa jadi kota mandiri tuk semai menara langit
warisan ratna mutumanikam kian terkikis, terjual proyek harakiri bukan harga diri
jejak pahlawan jadi tumpukan abu bahkan remaja lupa akan syair 'rayuan pulau kelapa'
kemarau panjang akibat penjarah liar yang tak berhati nurani
lagi-lagi bencana, menyalahkan pancaroba yang kian tak tentu
bendunganpun jebol, bumipun menjerit saat parunya teriris
lalu semua cuci tangan dan lari terbirit-birit sembunyi di ketiak sunyi
: lihatlah..
apa bedanya penjahat dengan pejabat..?
kalau akhirnya sama-sama mencuri saat mulut berbisa mulai berdasi
apa perlunya siskamling..?
jika otak malingnya bayanganmu sendiri
banyak layar tancap terpampang bukan malu bertelanjang
justru sikut sana sini rekayasa skrip telenovela sebagai sajian kudapan
seolah sekejap mengulur suapan sebelah kanan, kirinya merampas segala
atau kami hanya gulma tuk dibuang di kali tanpa mau perduli
hanya tampang sampah yang tak perlu didengar tanpa maksud menyumpah
: tapi ingat...!!
walau kami sampah tapi sanggup menghabisimu.
Ira Ginda...
debu tepian kota
Kisah Emas Hitam

Pagi itu saat aku menemukanmu teronggok kuyu
Di rimbunan perdu, di kelokan pinggir jalan berliku
Sebuah permata hitam mengadu telah berkarat
Ruhmu terjebak, sesat hingga sekarat
“kau emas hitam yang telah matang kan ku beri ruang, tempatmu bukan di lubang bertelanjang” itu ucapku walaupun mimikmu pasi membatu
Lalu kubungkus dan kubawa pulang tanpa ragu
Kurawat kau dalam kesunyian temaram malam
Relaku walau terluka saat punggungku rapuh tertikam, rusukmu
Agar bisa kulihat pijarmu benderang saat kelam
"hei kau, aku tak butuh argumen basi biarkan kunikmati arogan sendiri dengan menantang malam" itu kalimat terakhir sebelum kau tinggalkan pagar kayu
kini saat kau mudah bosan dengan terang
warnamu kelabu mulai jadi benalu
dengan lembarlembar puisi rindu yang basi
juga kisah cerpencerpen cinta picisan
aku masih rindu dengan sosok emas hitam
bukan ada cinta di antara selasela jemari
tapi pada katakata indah menawan
tanpa bla bla bla....darimu
tanpa apaapa dariku
...dan itu kau menurutku
--------------------------
purnama tak pernah bisa sembunyikan bayangan saat lolonganmu serupa deritan pintu yang rentan dihajar rayaprayap berbisa dan kopong di dalamnya. silahkan saja tutup kenyataan dengan kebohongankebohongan baru. di balik awan aku slalu bisa melihat gerakmu tanpa kau tau...
lihat bayangmu mulai tertawa berdarahdarah mencariku....
IG
imajinasi tentang keangkuhan
Kamis, 05 Agustus 2010
Kenang

aku mengingatmu. saat butirbutir gerimis mengeja lekuk tubuh kita. di sebuah senja. kaki kita saling bertutur tentang jalan yang kecut, oleh keringat. juga dakidaki ibukota di atas jembatan penyebrangan, sekitar semanggi.
tubuh kita saling mengutuk gigil. air bah yang buat kita basah, resah. ganjil, dengan keadaan walau payung telah kau pegang, di tangan kanan. lalu rasa merapat. berbagi hangat. dalam hitungan detak jantung pun kian cepat. cipta debaran binal. paruparu pun anfal.
lalu kita kian sibuk menata bubuk peluru, katakata. agar tepat ditembakkan ke jantung lawan bicara. telunjuk kian sibuk memisalkan keadaan. tentang teriakan kenek pada penumpang. atau pada jajanan yang ditawarkan pedagang. tak juga kau mulai. egomu tak juga mengurai. hingga jenuh mulai menegur, perpisahan.
lalu kita kian dungu, oleh arti sebuah sederhana. saat segalanya di mulai lalu tercerai. tapi maaf kali ini nyalimu tak setajam rindu, untuk mengerti tentang memiliki.
Mata Hati
mata itu tanpa nyali
tanpa simpul temali
karna hati tak serupa puisi
kematianku kali ini
IG Randa
Cermin
Untukmu
Puisimu

Aku mengejamu
Di lekuk senja dengan haru
Ada sayatan menganga, basah di celahnya
“tak apa kubiasakan tanpa rasa” dengan wajah pasi
Bibir kita kian nyinyir, mengotakatik kata beraroma anyir
Pada selembar lontar kering berisi catatan akhir
Dengan bait bertinta darah tertusuk duri
Penamu adalah jantung yang mati
Bermata rusuk sisi kiri
Pun tanda baca
; berharakiri
(ajari aku membencimu)
IG Randa
Langganan:
Postingan (Atom)