Ada getir luka menganga, tergurat di kening pagi.
Ra, tlah ucap kematian. tentang nasibnya sendiri. garisgaris hidup, di dahi. Ragu tlah letih tak mengerti. Tentang duka kekasihnya, Inka.
“rerimbun pohon percaya, daunnya gugur satusatu” saat sloki kedua berisi dusta habis, tertelan
Ra, membendung mendung di telaga tanpa sesal didustai. Bekas luka belum usai. Saat kekasih menuliskan pledoi. Tinta sewarna abu, kesangsian. Dengan dada terhujam belati, ketiadaan.
Ribuan maaf, julur alibi. saat liurliur saling berjejal , dihantar paruh burung raja. Lalu hening malam, mulai memahat kidung langit.
“tolong nyalakan kembali, lentera yang kugantungkan, di sisi keranda. agar ruang terasa damai” damba hati tergagap harap.
Inka, menjumputi jejak, sisa tetesan tinta. Untuk mencatat keyakinan. Dengan mata yang nyaris buta. tentang sebuah kemungkinan. Menetaskan kejutankejutan. Memijarkan bara, di hitam mata kekasihnya.
Dengarkan pekik burung raja, jeritannya kian gagah. Kabarkan pintu maaf, tlah terbuka. Tanpa deritan, di ujung senja. Lalu rasa bersepakat, meminang jabat. Tangan gurita mendekap, hangat.
--------------------------
Kini kabut mengurai. Tanpa kata cerai. Hingga semesta biarkan burungburung murai . dendangkan kidung biru. Lagu yang tak pernah usai. Dentingkan dawaidawai, kau tentangku.
Dalam kau, adaku.
IG Kembara